
Sumedang, Patrolindo.com – Harapan warga untuk kemudahan dalam pengurusan perpindahan alamat kendaraan kandas di tengah kenyataan yang pahit. Meskipun Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan komitmennya untuk mempermudah proses birokrasi, bahkan siap menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) demi menyokong niat baik warga membayar pajak, namun kenyataan di lapangan justru mencederai semangat reformasi itu.
Seorang warga berinisial FR mengungkapkan pengalamannya mengurus perpindahan STNK dari Sumedang ke Bandung. “Katanya kalau KTP enggak sesuai alamat STNK, biayanya bisa nambah sampai Rp700 ribu,” ujarnya. Padahal, ia sudah berinisiatif mencarikan KTP lama sesuai alamat, namun tetap saja diarahkan untuk “nembak KTP”—istilah yang merujuk pada praktik pengurusan dokumen lewat jalur tidak resmi. pada Jum’at (02/05/2025)
Ironisnya, saat semua dokumen sudah sesuai, biaya pengurusan justru membengkak hingga Rp1.510.000. “Bapak sudah masuk Rp830 ribu, jadi katanya tinggal nambah sekitar Rp680 ribu lagi,” lanjut FR. Padahal menurut ketentuan resmi, biaya mutasi dan penerbitan STNK baru seharusnya hanya berkisar antara Rp250.000 hingga Rp450.000, tergantung jenis kendaraan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: dari mana angka Rp1,5 juta itu muncul? Apakah ‘nembak KTP’ termasuk praktik pemalsuan data? Jika iya, mengapa justru diarahkan oleh petugas, dan bukan dicegah?
Lebih mengecewakan lagi, berkas milik warga bahkan sempat dikembalikan oleh Samsat Sumedang tanpa kejelasan. “Sudah seminggu saya bolak-balik, tapi ujungnya malah dikembalikan,” keluh seorang warga lain yang enggan disebutkan namanya.
Janji tinggal janji. Niat tulus warga untuk memanfaatkan momen tax amnesty agar taat pajak, malah dibenturkan dengan birokrasi ruwet dan pungutan liar yang seolah tak berkesudahan. Kondisi ini mencerminkan jurang menganga antara retorika politik dan kenyataan di lapangan.
Gubernur Dedi Mulyadi memang patut diapresiasi atas semangatnya membenahi sistem. Namun, tanpa tindakan tegas terhadap praktik-praktik kotor di lapangan, semua wacana dan pernyataan itu hanya akan menjadi pemanis bibir belaka.
Sampai kapan negeri ini begini? Dari mana harus mulai dibenahi? Mungkin jawabannya adalah: dari keberanian pemimpin untuk tidak hanya bicara, tetapi juga bertindak. Dan dari keberanian masyarakat untuk tidak lagi diam menghadapi ketidakadilan yang sistematis. (MR)