
Sumedang — Patrolindo.com
Fenomena nikah siri dengan identitas palsu menjadi sorotan publik setelah muncul sejumlah laporan istri atau suami yang menikah lagi secara diam-diam dengan identitas berbeda, padahal masih terikat perkawinan sah. Dalam banyak kasus, pernikahan kedua ini dilakukan dengan modus KTP palsu dan disahkan oleh oknum ustaz atau penghulu yang dekat dengan pelaku. (11/07/2025)
Meski dilakukan secara agama, pernikahan semacam ini berpotensi melanggar hukum pidana. Pakar hukum dan tokoh agama pun angkat bicara.
⚖️ Bigami dan Pemalsuan: Dua Delik Serius
Menurut Dr. Arifin Hadimulyo, S.H., M.Hum, dosen hukum pidana dari Universitas Islam Nusantara (UNINUS), nikah siri yang dilakukan oleh pihak yang masih terikat perkawinan sah, tetap bisa dikenakan Pasal 279 KUHP.
“Tidak penting apakah pernikahannya dicatat atau tidak. Selama dia masih terikat pernikahan sah dan menikah lagi tanpa izin, itu sudah bisa disebut bigami. Apalagi kalau pakai KTP palsu—itu tambah berat karena melanggar Pasal 263 KUHP juga,” tegas Dr. Arifin.
Pasal 279 KUHP mengatur tentang larangan menikah saat masih terikat pernikahan lain, dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun. Sedangkan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat membawa ancaman hingga 6 tahun penjara.
🧑⚖️ Ustaz Bisa Terjerat Jika Mengetahui dan Tetap Menikahkan
Tak hanya pelaku nikah siri yang bisa dijerat hukum, tokoh agama atau penghulu yang menikahkan juga bisa dikenai sanksi, baik pidana maupun etik.
“Kalau dia tahu orang itu masih istri orang lain, tapi tetap menikahkan, apalagi pakai KTP palsu, maka dia bisa dijerat Pasal 55 KUHP sebagai pihak yang turut serta dalam kejahatan,” ujar KH. Amin Fadli, Ketua MUI Kabupaten [nama].
KH. Amin juga menambahkan bahwa tokoh agama punya tanggung jawab moral dan etik dalam memverifikasi identitas calon pengantin, meskipun nikah dilakukan secara agama.
“Pernikahan agama bukan perkara sembarangan. Ini menyangkut nasab, hak waris, dan moral. Jika tokoh agama ikut melanggengkan kebohongan, maka mereka turut berdosa dan harus bertanggung jawab di dunia dan akhirat,” pungkasnya.
🧾 Ilustrasi Hukum: Kasus Nikah Siri dengan Identitas Palsu
Misalnya, seorang perempuan A menikah secara sah dengan suaminya di KUA dan belum pernah bercerai. Namun A pergi dari rumah dan menikah lagi dengan pria lain secara siri. Agar tidak ketahuan, ia memakai KTP atas nama B, dengan alamat dan data palsu. Pernikahan ini dinikahkan oleh ustaz C, yang mengenal A secara pribadi.
Dalam kasus ini:
- A bisa dikenakan Pasal 279 KUHP karena menikah lagi saat masih terikat perkawinan.
- A juga melanggar Pasal 263 KUHP karena menggunakan KTP palsu.
- Ustaz C bisa dikenai Pasal 55 KUHP, jika terbukti mengetahui identitas asli A namun tetap menikahkan.
📢 Imbauan Hukum untuk Masyarakat
Kasus seperti ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk tidak sembarangan menikah secara diam-diam, apalagi menggunakan identitas palsu. Hukum Indonesia mengakui sahnya pernikahan menurut agama, namun tetap menuntut kejujuran, transparansi, dan ketaatan pada aturan hukum.
Pihak kepolisian dan lembaga bantuan hukum mendorong masyarakat yang dirugikan akibat praktik pernikahan ilegal ini untuk segera melapor ke aparat penegak hukum atau LBH setempat.
📝 Redaksi: AS/MR
📍Editor: Tim Patrolindo
📅 Dipublikasikan: [Jum’at, 11/07/2025]