
Sumedang, Patrolindo.com —
Bencana tak harus datang tiba-tiba. Di Desa Karyamukti, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, bencana itu datang pelan-pelan, menggigit setiap jengkal tanah yang menghubungkan warga dengan rasa aman. Abrasi sungai Cipeles yang kian parah kini menjadi mimpi buruk nyata bagi warga Dusun Caricangkas RT 02 RW 03, khususnya bagi dua keluarga yang rumahnya hanya berjarak dua meter dari bibir jurang. Senin, (16/06/2025)

Sejak 8 Mei 2025, lahan sepanjang kurang lebih 50 meter telah hilang disapu arus sungai. Dua rumah milik Yaya Darla dan Asep Rohendi berada di ambang kehancuran. Takut menjadi korban berikutnya, keluarga mereka memilih mengungsi, meninggalkan rumah yang telah mereka bangun dan huni selama bertahun-tahun.
“Kami sudah tidak tidur nyenyak lagi. Kalau hujan datang, suara air sungai seperti teriakan kematian. Kami tak berani tinggal. Kami pindah ke rumah saudara,” kata Asep dengan mata yang letih.
Janji Peninjauan, Tapi Tanpa Kepastian
Video Terkait :
Warga bersama Kepala Desa Karyamukti, Riki Reynaldi, telah berinisiatif menyurati pihak terkait — termasuk Bupati Sumedang dan BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai). Peninjauan dari PUPR dan BBWS memang telah dilakukan, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan nyata di lapangan.
“Kami mohon pemerintah jangan hanya datang untuk meninjau, mengambil foto, dan pulang. Kami butuh tindakan konkret. Minimal dilakukan normalisasi sungai. Jangan tunggu sampai ada korban jiwa,” ujar Riki dengan tegas.
Musim Banjir Mengintai
Kekhawatiran warga bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengalaman, bulan Juli adalah puncak musim banjir di wilayah ini. Jika tidak ada langkah pencegahan, maka bukan hanya dua rumah yang akan hilang — bisa jadi seluruh kawasan permukiman di pinggir sungai ikut terdampak.
“Kalau air naik seperti tahun lalu, semua bisa hanyut. Tapi lucunya, meski tanah sudah hilang, pajak SPPT tetap datang dan harus kami bayar,” ungkap Yaya Darla, yang kini merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem.
Ketimpangan Prioritas?
Situasi ini kembali mempertanyakan prioritas pemerintah dalam menangani bencana perlahan (slow disaster) seperti abrasi. Berbeda dengan gempa atau banjir besar yang segera memantik bantuan, abrasi seringkali diabaikan, padahal efeknya sangat nyata dan permanen.
Pemerintah daerah maupun pusat diminta tidak menunda-nunda penanganan, terlebih menyangkut keselamatan dan hak dasar warga untuk tinggal di lingkungan yang aman.
Warga Butuh Kepastian, Bukan Dokumentasi
“Sudah banyak yang datang, wawancara, foto-foto, lalu hilang begitu saja. Kalau sekadar foto, saya juga bisa. Tapi kami butuh solusi. Kami ingin tinggal di rumah sendiri dengan tenang, bukan terus dihantui longsor,” tegas Yaya Darla kepada tim Patrolindo.com.
Kini, warga Desa Karyamukti hanya bisa berharap suara mereka tak tenggelam bersama tebing sungai yang terus longsor. Mereka tidak meminta lebih — hanya agar pemerintah mendengar, hadir, dan bertindak sebelum semuanya terlambat.