
Tolengas, Patrolindo.com – Sebuah ironi pilu di tengah geliat digitalisasi nasional. Di Dusun Banjarsari RW 11, Desa Tolengas, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, sebuah menara Base Transceiver Station (BTS) menjulang bisu setinggi 75 meter—tidak aktif, tidak dirawat, dan tidak bertanggung jawab—selama tujuh tahun penuh. Kini warga menjerit, pemerintah pura-pura tuli.
Video Terkait :
Pada Sabtu (05/06/2025), warga menyampaikan keresahan mereka yang telah lama terpendam. Tower itu, selain menjadi rongsokan tak berguna di tengah pemukiman padat, juga menjadi sumber teror terselubung saat musim hujan tiba. Petir yang menyambar dilaporkan menyebabkan kerusakan alat elektronik warga, memperparah kecemasan yang selama ini mereka pendam. “Kami takut setiap kali hujan turun. Rasanya seperti hidup di bawah bom waktu,” ujar seorang warga yang memilih tak disebut namanya.
Lebih dari sekadar ancaman keselamatan, dampak nyata juga dirasakan oleh PAMSIMAS BUMDesa Cisadane Mandiri. Pompa pengatur air bersih mereka mengalami kerusakan yang diduga kuat akibat aktivitas elektromagnetik liar dari tower tersebut. Akibatnya, distribusi air bersih bagi warga terganggu, menambah panjang daftar penderitaan yang mereka alami.
Pemerintah Desa Tolengas sejatinya sudah melayangkan surat pengaduan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun ironisnya, surat itu seperti dilempar ke jurang sunyi—tak ada jawaban, tak ada tindakan. Kominfo, lembaga yang seharusnya menjadi garda depan dalam urusan telekomunikasi, justru memilih diam membisu.
“Kominfo ke mana? Kami sudah mengirim surat, tapi seolah tak dianggap. Masa warga harus terus-menerus jadi korban pembiaran ini?” keluh perwakilan Pemdes Tolengas dengan nada kecewa.
Warga pun kini berharap pada figur-figur yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Bupati Sumedang Doni Ahmad Munir. Mereka meminta agar kedua pemimpin ini tidak tinggal diam menghadapi pengabaian ini. “Kalau pusat tidak peduli, kami mohon pada pemimpin kami di daerah untuk segera turun tangan,” tambah warga lainnya.
Kritik keras pun mengarah ke pengelolaan infrastruktur telekomunikasi yang tidak transparan dan minim pengawasan. Ketika proyek BTS digembar-gemborkan sebagai bentuk pemerataan digital, mengapa tanggung jawab atas infrastruktur mati ini dibiarkan mengambang?
Tower ini bukan sekadar tiang besi, tapi simbol dari sistem yang gagal menjamin keselamatan dan hak dasar warga. Diamnya Kominfo bukan hanya kelalaian administratif, tapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap fungsi pelayanan publik.
Sudah saatnya pemerintah berhenti bersilat lidah dan mulai bekerja nyata. Apakah menunggu korban jiwa baru kemudian bertindak? Jika tidak segera diatasi, tower mangkrak ini bisa berubah menjadi tragedi yang sebenarnya telah lama bisa dicegah. (Asgun/MR)